Dr. Abbas Langaji
Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo
Terkini.id, Sorong – Sejak kanak-kanak, kata sembahyang akrab dengan telinga saya; demikian pula orang-orang di kampung saya, mengucapkan kata sembahyang; kedua orang tua saya yang sehari-hari berbahasa Bugis, menyebutnya dengan kata sumpajang atau sumbajang.
Sangat langka orang menyebut kata aslinya yang berbahasa Arab; karena berasal dari akar bahasa Arab yang terdiri atas huruf-huruf ? (shad atau shod), ? (laam), ? (alif) dan ? (ta marbuutah), yang bila digabungkan tertulis ???? (menulisnya dalam bahasa Indonesia pun beragam, boleh jadi karena perbedaan cara transliterasi.
Sehingga ditemukan beragam tulisan: shalat, sholat, salat, atau solat?) Boleh jadi untuk sementara orang berat, ribet, sehingga menggunakan kata sembahyang yang sudah terlanjur familiar.
Tapi bukan kah itu beraroma (maaf!) Hindu?
**
Dalam konsepsi teologis Sunda pra Hindu, Hyang (Sanghyang, Sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan.
Kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, di sungai, di pohon, di batu atau di tempat-tempat lainnya. Istilah sembahyang pun lahir dari tradisi ritus menyembah Hyang (Yang Tunggal), mirip dengan shalat menyembah Allah Yang Maha Esa di dalam Islam.
**
Masuk dan berkembangnya Islam di Jawa, tidak bisa dilepaskan dengan perjuangan Wali Songo, yang menggunakan pendekatan budaya dalam melaksanakan dakwahnya. Mereka mengajarkan dan membimbing masyarakat tentang berbagai aspek ajaran Islam, salah satunya beribadah.
Pada saat itulah diperkenalkannya istilah ibadah shalat dengan kata sembahyang, agar lebih familiar dalam penuturannya.
Selain sembahyang, sejak zaman Wali Songo itu pula dikenal istilah mengaji, berasal dari bahasa Jawa. Seingat saya, dalam perbendaharaan bahasa Arab, tidak dikenal istilah mengaji; kata yang sepadan boleh jadi adalah kata tadarrus.
**
Beberapa tahun belakangan, muncul segelintir orang yang melarang penggunaan kata sembahyang tersebut; alasannya kata tersebut TIDAK DIPERGUNAKAN di dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maupun kitab2 fiqh semua mazhab.
Bahasa Arabnya dinilai lebih Islami, sementara kata sembahyang BUKAN dari perbendaharaan kata bahasa Arab seperti disebutkan di atas. Kalangan yang lebih halus bukan melarang, hanya menganjurkan mempopulerkan kata yang berasal dari bahasa Arab-nya, yaitu sholat;
Tapi bukankah kata shalat justru juga sudah dipergunakan oleh orang-orang jahiliyah pra Islam?
Sebahagian pakar bahasa Arab menyebut bahwa kata shalat dalam Islam tersebut berasal dari kata berasal bahasa Ibrani dari kata shaluta atau tzelota, yang bermakna do’a. Jauh sebelum ajaran Islam dikenal istilah “shalat” untuk menunaikan ibadah telah digunakan oleh kaum Kristen Ortodoks. Zakat pun berasal dari bahasa Ibrani, dari akar kata zakuta, makanya dalam beberapa penulisan kata shalat dan zakat di dalam al-Qur’an masih ada huruf waw untuk menunjukkan akar kata asalnya. (????? ????).
Segelintir orang seakan-akan mulai alergi dengan penggunaan kata sembahyang tersebut, walaupun sudah berlangsung ratusan tahun; penggunaan kata sembahyang tersebut sesungguhnya lebih karena pertimbangan praktis: dipergunakan untuk menyebut ibadah shalat tersebut dengan kosa kata yang sudah akrab bagi penuturnya di nusantara.
Di sinilah urgensi pemahaman tentang proses vernakularisasi, yaitu pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia, oleh karenanya pemahaman sejarah asal usul kata dalam berbagai bahasa itu penting.
Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, ketika world on your hand, maka sedikit demi sedikit, pelan tapi pasti, globalisasi merenggut bahasa lokal dari komunikasi; bahkan merenggut bahasa lokal dari proses peribadatan manusia, padahal sejatinya bahasa merupakan jembatan kebudayaan dan manusia.
Bukankah (ada gejala) seseorang akan merasa lebih Islami bila menggunakan sitilah-istilah yang ke-arab2an, sehingga kata lain yang sepadan, bahkan yang sudah dipergunakan puluhan hingga ratusan tahun pun sedikit demi sedikit disingkirkan.
**
Penggunaan istilah shalat atau sembahyang adalah masalah kebahasaan saja, atau sederhananya masalah kenyaman berbahasa saja; sebahagian kita karena kata sembahyang menggunakan kata yang (dianggap) beraroma Hindu, namun kita nyaman dengan kata shalat yang ternyata beraroma Ibrani-Aramiya;
**
Saya tidak tau apakah di sana juga gelisa menggunakan kata berdo’a, bukan kah kata “doa” itu dari kata Arab (Islam?) al-Du’â (???????) ??
Entahlah, sepertinya saya (dan mungkin juga anda) perlu lebih banyak belajar.