Terkini.id, Sorong – Selalu saja, pulang menjadi kenangan tersendiri bagi setiap orang. Dimana mendapati diri kita yang dulu, selalu beriringan dengan kenangan.
Pada alasan untuk bertemu diri di masa lalu, kita merelakan untuk menempuh sejauh apapun itu. Maka, mudik menjadi pilihan.
Dengan datangnya syawal, maka bertemulah momentum. Kerinduan, dan juga keinginan selalu untuk pulang. Keduanya berpadu sehingga sekalipun berjejal, mahal, dan memerlukan waktu. Mudik di akhir ramadan menjadi pilihan yang tak tertahankan.
Ramadan sebelumnya, bukan hanya satu. Bahkan dua ramadan, mudik menjadi sebuah larangan. Walau demikian, ada pula yang menyiasatinya dengan pelbagai cara sehingga tetap memungkinkan untuk mudik.
Kini, mudik kembali menjadi perayaan.
Dimana semuanya sudah disiapkan. Sekalipun harga tiket tak lagi murah. Menguras tabungan, dan bahkan untuk menjalaninya ada yang perlu meminjam.
Bukan saja itu. Risiko macet juga menghadang. Sekalipun itu menggunakan kendaraan pribadi. Bagi yang menggunakan angkutan umum, harganya kerap bertambah dengan tambahan tuslah yang naik di atas harga sebelum masa-masa mudik.
Sementara perjalanan yang kerap diliput di pulau Jawa saja. Betapa perjalanan dari timur, seperti Papua ke pulau Jawa kadang tak tergambarkan sama sekali. Itu juga sebuah ritual yang dilakukan para perantau.
Ada sekeluarga yang berprofesi sebagai tukang cukur harus menggadaikan barang-barang untuk mudik. Sekali dalam sepuluh tahun. Semuanya serba mahal, tapi tak ada pilihan lain.
Tak menyurutkan untuk melakukan itu. Sekalipun mahal, dan juga memerlukan waktu yang lebih lama berbanding biasanya.
Berkorban demi menyelesaikan kerinduan. Begitu pula dengan memori yang telah terpatri sepanjang masa kanak-kanak. Dijalani kembali, dipungut, dan dikenang.
Merantau ke kota, menjadi pilihan untuk pekerjaan.
Sementara meninggalkan kampung halaman. Masa-masa idul fitrilah menjadi sebuah peluang untuk tetap kembali. Kemudian memeluk kembali semua kenangan itu pada perjumpaan dengan syawal.
Mudik sejatinya adalah pulang. Kembali bersua dengan sanak saudara yang terpisah karena juga urusan kehidupan yang tak dapat ditunaikan kalau bersua selalu.
Menyemangati diri dengan keberadaan mereka, selanjutnya meneruskan perjuangan untuk kehidupan berikutnya.
Sampai nanti, giliran untuk kembali selamanya didapatkan.