Terkini.id, Sorong – Ketika di zaman Rasul, tarawih belum dilaksanakan secara meluas di penduduk Madinah. Saat itu, dikenal dengan qiyam Ramadhan.
Semasa Umar bin Khattab RA, nama yang ini dipakai untuk memaknai shalat yang diselingi dengan istirahat.
Baik Abu Bakar sampai di awal pemerintahan Umar, tarawih berjamaah belum dilaksanakan berjamaah. Sampai di masa Umar memerintahkan sahabat Ubay bin Ka’ab untuk memimpin tarawih. Adapun Ubay bin Ka’ab melaksanakan dalam dua puluh rakaat.
Peristilahan tarawih sendiri tidak tersedia dalam sabda nabi. Istilah ini wujud dalam hadis Aisyah yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam kata yatarawwah (istirahat).
Setidaknya ada dua praktik tarawih. Delapan rakaaat ditambah dengan witir tiga rakaat. Kemudian ada pula yang melaksanakan dua puluh rakaat ditambah tiga rakaat witir.
Selanjutnya, allahuyarham Imam Besar Masjid Istiqlal keempat, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya’qub menyatakan jumlah rakaat tarawih tidak dibatasi.
Jika mengacu kepada Shahih al-Bukhari, I/342, maka berapapun jumlah tarawih sepanjang dilaksanakan dengan niatan untuk menghidupkan malam-malam sepanjang Ramadhan, tetap saja itu juga tarawih.
Hadis Aisyah tadi meriwayatkan bahwa shalat nabi dilaksanakan dengan istirahat, hanya saja tidak terkhusus pada Ramadhan semata.
Di luar Ramadhanpun, Rasul tetap shalat malam. Untuk itu, hadis Asiyah tidak bisa dijadikan dasar satu-satunya pelaksanaan delapan rakaat untuk tarawih.
Al-Mughirah RA meriwayatkan (al-Bukhari, I/198) bahwa pelaksanaan shalat malam Rasulullah ini sebagai tanda kesyukuran. Dimana tumit Rasulullah tampak pecah-pecah karena kelamaan berdiri dalam menunaikan shalat malam.
Ragam dua jenis pelaksanaan tarawih, kita bisa saksikan dimana semasa pagebluk covid-19 ini, rakaat tarawih di masjidil haram dijadikan sepuluh rakaat, atas perintah YM Raja Salman, Pelayan Dua Kota Suci.
Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tarawih, bisa jadi dijadikan rakaatnya sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing.
Hanya saja, para sahabat mempraktikkan dua puluh rakaat dengan tiga rakaat witir.
Walau pada akhirnya, tarawih bukanlah pada jumlah rakaat. Tetapi dengan kepentingan untuk menghidupkan malam Ramadhan dengan ibadah.
Aktivitas dengan sekolah, juga tetap relevan. Dikarenakan menuntut ilmu juga adalah perintah agama. Sehingga dengan datangnya Ramadhan, tak harus dirayakan dengan libur dari aktivitas.
Pelaksanaan tarawih secara berjamaah menjadi lazim di zaman Umar. Kemudian ini menjadi praktik yang diwariskan secara turun temurun. Bolehjadi ini dipandang sebagai sunnah sahabat kalau melihat tempo dilaksanakannya.
Tentu ini tetap dapat dipandang sebagai sebuah praktik sunnah. Dimana para sahabatlah yang mengetahui bagaimana perilaku dan praktik ibadah Rasulullah.
Wallahu a’lam bish-shawab.